Buku Aksara
Aksara
11/23/2017
Pakar perbukuan asal Venezuela, Fernando Báez, tengah berada di Irak saat pasukan Amerika Serikat menggempur Bagdad pada Mei 2003. Ia saksikan bagaimana peradaban dihancurkan lewat pembakaran buku dan perusakan museum-museum.
Terhantui oleh pertanyaan “Mengapa manusia menghancurkan buku?”, ia pun menyusun kajian ini. Merentang dari awal peradaban tulis hingga kasus-kasus kontemporer, inilah kajian sejarah global pertama tentang bibliosida (penghancuran buku) dari masa ke masa.
Bertentangan dengan pendapat umum, Báez menemukan bahwa buku-buku dihancurkan bukan oleh ketidaktahuan awam atau kurangnya pendidikan, melainkan justru oleh kaum terdidik dengan motif ideologis masing-masing. Dan ini bisa menjelaskan fenomena di Indonesia ketika profesor, pejabat pemerintah, bahkan penerbit sendiri ikut-ikutan membakar buku.
Báez kini menjabat Kepala Perpustakaan Nasional Venezuela dan penasehat UNESCO. Ulasannya mengenai Perang Irak membuatnya di-persona non-grata-kan oleh pemerintah AS.
Aksara
11/23/2017
"... menguak sisi-sisi yang peka ... agar umat Muslim mengembangkan kultur lapang dada dalam menyikapi perbedaan pandangan."
—Ahmad Syafii Maarif
"... menyentuh pertanyaan-pertanyaan yang sering bergaung di percakapan kita, juga di percakapan batin kita—pertanyaan yang kerap mengusik. Terutama di sekitar agama ...."
—Goenawan Mohamad
"Buku Islam Tuhan Islam Manusia sungguh mewakili ketercerahan intelektual dan spiritual secara sama-sama cemerlang ...."
—Mochtar Pabottingi
"Buku ini adalah salah satu upaya (penulis)-nya menyebarkan hasil pembacaan dan pengamatan yang terbimbing (wahyu, yang mengejawantah dalam perilaku teladan Rasulurrahmah, Nabi Muhammad Saw)."
—KH. Mustofa Bisri
Biodata Penulis
Haidar Bagir lahir di Surakarta, 20 Februari 1957. Dia meraih S-1 dari Jurusan Teknologi Industri ITB (1982), S-2 dari Pusat Studi Timur Tengah, Harvard University, AS (1992), dan S-3 dari Jurusan Filsafat Universitas Indonesia (UI) dengan riset selama setahun (2000-2001) di Departemen Sejarah dan Filsafat Sains, Indiana University, Bloomington, AS.
Nama penerima tiga beasiswa Fullbright ini selama beberapa tahun berturut-turut masuk di dalam daftar 500 Most Influential Muslims (The Royal Islamic Strategic Studies Centre, 2011).
Selain sibuk mengurus yayasan pendidikan dan sosial dan menjadi presiden direktur sebuah rumah penerbitan, dia telah menulis beberapa buku di antaranya: Buku Saku Tasawuf; Buku Saku Filsafat Islam; Buat Apa Shalat?!; Surga di Dunia, Surga di Akhirat; Era Baru Manajemen Etis; Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam; Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan, Belajar Hidup dari Rumi, dan Mereguk Cinta Rumi, serta beberapa judul buku lain. Dia juga masih aktif memberikan ceramah keagamaan dan pendidikan di sejumlah instansi; menjadi pembicara di sejumlah seminar keilmuan, khususnya kajian tentang filsafat dan pemikiran Islam kontemporer. Selain itu, dia menjabat sebagai Editor-in-chief Jurnal Kanz Philosopia, Jakarta; Koordinator regional International Society for Islamic Philosophy; Board member of Global Compassionate Council; dan Pendiri Gerakan Islam Cinta, serta menjadi dosen di ICAS dan STFI Sadra, Jakarta.[]
Aksara
11/23/2017
Para Mukmin sejati memandang Islam sebagai satu-satunya jalan yang lurus (al-shirâth al-mustaqîm). Isu utama mereka adalah bagaimana kaum Muslim melaksanakan Islam secara kâffah (total). Hal ini bisa menimbulkan kesan bahwa dunia di mata mereka hanya berwajah biner: Islam/kafir, thâghût/Allah, haqq/bâthil, jahiliyah/Islami, Dâr Al-Islâm/dâr al-harb, dan seterusnya. Dengan pandangan-dunia semacam itu, bagi sebagian orang, sikap dan tindakan mereka dianggap terlalu simplistik, linier, keras, dan bahkan radikal.
Di sisi yang berseberangan, terdapat sebagian Muslim yang longgar, atau bahkan abai, terhadap prinsip-prinsip Islam. Mereka sering menafsirkan ajaran Islam dalam rangka kepentingan-diri mereka sendiri. Mereka lebih dekat pada sekularisme dan ateisme ketimbang pada Islam, bahkan oleh sebagian orang, mereka dianggap telah keluar dari Islam.
Yusuf Qardhawi, seorang ulama yang sangat disegani di dunia Muslim, mencoba memetakan pandangan-pandangan yang berkembang di Dunia Islam. Dengan keluasan ilmu, kejernihan argumentasi, dan kelapangan hati, dia menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang senantiasa menempuh jalan tengah (wasath), yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmah li al-‘âlamîn). Dengan pandangan-dunia itu, Islam menampilkan diri sebagai sebuah agama yang toleran, moderat, adil—tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip intrinsiknya. Di dalamnya tersirat pengakuan akan adanya berbagai pandangan, kemungkinan, alternatif, tafsiran tentang Islam yang satu itu.
TENTANG PENULIS
Yusuf Qardhawi lahir di Saft Turab, Mesir, 1926, sekarang tinggal di Doha, Qatar, adalah tokoh-pemikir gerakan Islam Al-Ikhwan Al-Muslimun dan ulama intelektual yang sangat dihormati, baik di kalangan Muslim maupun non-Muslim. Selain dikenal sebagai penulis yang prolifik, dokter lulusan Universitas Al-Azhar ini merupakan figur pemikir yang fatwa-fatwanya diikuti oleh banyak kaum Muslim. Pemikirannya yang moderat dan relevan dengan kebutuhan modernitas masyarakat Islam selalu memberikan kontribusi yang berharga bagi Dunia Islam.
Aksara
11/23/2017
Istilah "Aksi Bela Islam" mendadak populer dalam kosa-kata gerakan politik-keagamaan kontemporer di Indonesia. Istilah ini merupakan mantra ampuh untuk memobilisasi dukungan umat Islam dalam merespons isu-isu sosial dan politik aktual yang dianggap berkaitan dengan nasib dan kepentingan umat Islam. Tidak ada yang salah dengan inisiatif aksi solidaritas atas dasar persamaan keyakinan. Yang penting dipahami, memperkuat solidaritas sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah) tidak boleh menegasikan solidaritas kebangsaan yang majemuk (ukhuwah wathaniah) dan solidaritas kemanusiaan (ukhuwah basyariah).
Klaim "Aksi Bela Agama" bukanlah monopoli kelompok keagamaan tertentu. Pembelaan terhadap agama Islam hendaklah berpijak pada kepentingan menjaga hak-hak umat Islam yang selaras dengan bangunan politik kebangsaan yang inklusif dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Nalar "Membela Islam, Membela Kemanusiaan" adalah bahwa membela Islam haruslah kongruen dengan membela kemanusiaan. Komitmen membela Islam akan sukar diterima jika aktualisasinya justru mengancam nilai-nilai keadaban, kebinekaan, dan kemanusiaan. Semangat membela Islam akan kehilangan esensinya apabila mengarah pada otoritarianis.
TENTANG PENULIS
Fajar Riza Ul Haq (lahir di Sukabumi,1979) merupakan Sekretaris Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2015-2020), Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Muhadjir Effendy Bidang Kerjasama Antar Lembaga, dan mantan Direktur Eksekutif MAARIF Institute (Desember 2009-Februari 2017). S1 di Jurusan Syariah,Universitas Muhammadiyah Surakarta (2002). S2 di Program Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Universitas Gadjah Mada (2006). Mengikuti beberapa pendidikan non-gelar: Chevening Fellowship di Universitas Birmingham, Inggris (2009), Sloan School of Management, MIT, Amerika (2011-2012), dan School of Economics and Management, Universitas Tsinghua, China (2013). Berkiprah di pelbagai forum Internasional; pembicara Global Counter Terrorism Forum's Practisioners Workshop di Washington (2013), United Nations Alliance of Civilizations di Wina (2013), International Visitor Leadership Program of US State Department (2012), ASEAN-Australia Emerging Leaders Program di Kuala Lumpur (2012), Global Counter Terrorism Forum-Working Group di Manila (2012), The 17 New Generation Seminar, the East West Centre di Hawai, Shanghai, dan Tokyo (2007), Facilitation of Dialogue Process and Mediation Efforts, Folke Bernadotte Academy, di Swedia (2007), dan Australia-Indonesia Young Muslim Leaders Exchange (2005).
"Buku ini tak hanya memotret tantangan peradaban Islam di Indonesia masih diliputi problema tafsir teks yang kaku, tetapi juga menambah perspektif optimistik bahwa Islam memayungi kemajemukan budaya dan menyuarakan keadilan. Penulis sangat cerdas menyajikannya dalam bahasa yang populis sehingga renyah untuk dicerna."
-Prof. Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
"Fajar Riza Ul Haq terus berusaha mencari mediasi-antara lain melalui tulisan-tulisannya-untuk mendorong transformasi sosial menuju Indonesia yang semakin adil dan sejahtera."
-Mgr. Ignatius Suharyo Pr, Uskup Agung Jakarta
"Karya ini patut dibaca bukan saja oleh kalangannya sendiri, tetapi juga oleh publik Indonesia umumnya. Sebagai seorang intelektual-aktivis, penulisnya punya jaringan luas yang merupakan modal tambahan bagi bobot karyanya. Sebagai Muslim, penulis menunjukkan sikap kritisnya terhadap umat Islam yang jauh dari idealisme Islam tentang persatuan umat."
-Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Aksara
11/23/2017
Pasca-kemerdekaan, bahasa Indonesia selanjutnya ditetapkan sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia, yang dahulu dikenal dengan bahasa Melayu yang merupakan bahasa penghubung antar-etnis yang mendiami kepulauan Nusantara. Selain menjadi bahasa penghubung antara suku-suku, bahasa Melayu juga menjadi bahasa transaksi perdagangan internasional di kawasan kepulauan Nusantara yang digunakan oleh berbagai suku bangsa Indonesia dengan para pedagang asing.
Pada tahun 1928 bahasa Melayu mengalami perkembangan yang luar biasa. Pada tahun tersebut a tokoh pemuda dari berbagai latar belakang suku dan budaya menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia, keputusan ini dicetuskan melalui peristiwa Sumpah Pemuda. Kemudian, ah kemerdekaan Indonesia—tepatnya pada 18 Agustus bahasa Indonesia diakui secara yuridis ebagai bahasa persatuan Indonesia.
Aksara
11/23/2017
Di Indonesia, berkulit putih dipandang sebagai norma kecantikan. Obsesi memiliki kulit putih membuat produk pemutih kulit menduduki tempat teratas dalam penjualan industri kosmetik. Dari mana obsesi itu bermula, dan apa makna sosial-politik berkulit putih di Indonesia?
Bahkan jauh sebelum masuknya kolonialisme Barat, perempuan berkulit putih sudah dianggap sebagai ideal kecantikan, seperti terlihat dari epos India Ramayana yang diadaptasi di Jawa pada akhir abad ke-9. Pada era kolonialisme Belanda, putih mulai mendapat muatan rasialnya ketika cantik putih diidentikkan dengan ras Kaukasia. Seiring masuknya Jepang ke Indonesia, disebarkanlah ideal cantik putih yang baru: putih Asia. Sementara pada era pascakolonial, ruang geografis Indonesia rupanya menjadi penanda penting untuk dilekatkan pada kategori putih yang kini nasionalistik , yakni “putih Indonesia”. Terakhir, pada era globalisasi kontemporer saat ini, kulit putih menjadi kualitas virtual yang lepas dari tubuh riilnya secara rasial maupun kebangsaan.
Buku ini bermaksud melacak peredaran citra-citra kecantikan lintas lokasi geografis dan babak kesejarahan yang berbeda-beda, dan menjelaskan bagaimana sirkulasi transnasional tersebut turut melestarikan supremasi putih di aras global dan membentuk konstruksi ras, gender, dan warna kulit di Indonesia.
Aksara
11/22/2017
Jenaka, cerdik, dan sangat membumi.
—The Seattle Times
Menyegarkan dengan cara yang unik.
—Blog TED Ideas
Bacaan wajib untuk menciptakan kehidupan kreatif.
—Pop Sugar
ELIZABETH GILBERT adalah penulis #1 New York Times best selling memoar Eat Pray Love dan sejumlah buku dengan penjualan terbaik di dunia. Penulis ini adalah finalis National Book Award, National Book Critics Circle Award, dan PEN/Hemingway Award. Novel karya terakhirnya, The Signature of All Things, dinobatkan sebagai Buku Terbaik 2013 oleh The New York Times, O: The Oprah Magazine, The Washington Post, Chicago Tribune, dan The New Yorker.
Aksara
11/22/2017
Dulu Lalan ditakuti karena sepak terjangnya di dunia para preman, disegani karena tato yang tercetak di hampir sekujur tubuhnya. Namun, kini ia adalah sosok yang berbeda. Ia berjuang untuk istri dan anak-anaknya, "Ingin memberi mereka rezeki yang halal," katanya. Dan, Lalan bangga menjalani dunia barunya sebagai peracik kopi, meski hijrah ini membuatnya jatuh miskin!
Tahun lalu, pada masa-masa awalnya berhijrah, saat sentimen SARA mencuat dalam pertarungan politik ibu kota, ia masih berujar, "Jika tragedi '98 terulang lagi, toko-toko itu yang kali pertama akan saya bakar!" Sambil menunjuk kompleks pertokoan yang dikelola oleh para pengusaha yang berbeda etnis dengannya. Namun, ia kini punya cara pandang berbeda terhadap mereka yang dulu begitu ia benci, "Ternyata dulu saya salah. Kita mungkin tidak bersaudara dalam iman, tetapi kita bersaudara dalam kemanusiaan."
Perjalanan seperti apa sebenarnya yang sudah dilalui Lalan?
Apa yang sudah mengalahkannya secara telak?
Inilah biografi orang biasa. Inilah Hijrah Bang Tato.
Tentang Penulis
Fahd Pahdepie, lahir di Cianjur, 22 Agustus 1986, adalah entrepreneur dan intelektual publik yang telah melahirkan banyak buku best seller. Dia mendapatkan gelar Master of International Relations dari Monash University dengan beasiswa pemerintah Australia dan meraih penghargaan Outstanding Young Alumni 2017 dari Australia Global Alumni serta Australia Awards. Fahd merupakan anggota dari Monash Global Leaders dan termasuk dalam daftar 20 pemimpin muda berpengaruh Australia-ASEAN dalam A2ELP 2013, versi Australia-Malaysia Institute dan Asialink.
Saat ini, dia merupakan CEO dari inspirasi.co dan Executive Director Digitroops Indonesia, perusahaan yang bergerak di bidang jasa komunikasi strategis dengan berbagai klien dari dalam dan luar negeri. Dia juga merupakan pemilik dari jaringan bisnis Visi Matahari Pagi (VMP) yang menaungi sejumlah kafe, barbershop, dan co-working space, serta PT Umrah Leadership Series (ULS).
Buku Hijrah Bang Tato dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dalam counter-narrative act to radicalism and extremism dan telah membawanya ke banyak konferensi serta talk tingkat dunia, di antaranya TED Inspired Talk oleh Australia Global Alumni, Monash Arts Alumni Summit oleh Monash University, Conference of Australian and Indonesian Youth (CAUSINDY) 2017 di University of Melbourne, Singapore Writer Festival (SWF) 2017, dan masih banyak lagi.
Tahun lalu, pada masa-masa awalnya berhijrah, saat sentimen SARA mencuat dalam pertarungan politik ibu kota, ia masih berujar, "Jika tragedi '98 terulang lagi, toko-toko itu yang kali pertama akan saya bakar!" Sambil menunjuk kompleks pertokoan yang dikelola oleh para pengusaha yang berbeda etnis dengannya. Namun, ia kini punya cara pandang berbeda terhadap mereka yang dulu begitu ia benci, "Ternyata dulu saya salah. Kita mungkin tidak bersaudara dalam iman, tetapi kita bersaudara dalam kemanusiaan."
Perjalanan seperti apa sebenarnya yang sudah dilalui Lalan?
Apa yang sudah mengalahkannya secara telak?
Inilah biografi orang biasa. Inilah Hijrah Bang Tato.
Tentang Penulis
Fahd Pahdepie, lahir di Cianjur, 22 Agustus 1986, adalah entrepreneur dan intelektual publik yang telah melahirkan banyak buku best seller. Dia mendapatkan gelar Master of International Relations dari Monash University dengan beasiswa pemerintah Australia dan meraih penghargaan Outstanding Young Alumni 2017 dari Australia Global Alumni serta Australia Awards. Fahd merupakan anggota dari Monash Global Leaders dan termasuk dalam daftar 20 pemimpin muda berpengaruh Australia-ASEAN dalam A2ELP 2013, versi Australia-Malaysia Institute dan Asialink.
Saat ini, dia merupakan CEO dari inspirasi.co dan Executive Director Digitroops Indonesia, perusahaan yang bergerak di bidang jasa komunikasi strategis dengan berbagai klien dari dalam dan luar negeri. Dia juga merupakan pemilik dari jaringan bisnis Visi Matahari Pagi (VMP) yang menaungi sejumlah kafe, barbershop, dan co-working space, serta PT Umrah Leadership Series (ULS).
Buku Hijrah Bang Tato dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dalam counter-narrative act to radicalism and extremism dan telah membawanya ke banyak konferensi serta talk tingkat dunia, di antaranya TED Inspired Talk oleh Australia Global Alumni, Monash Arts Alumni Summit oleh Monash University, Conference of Australian and Indonesian Youth (CAUSINDY) 2017 di University of Melbourne, Singapore Writer Festival (SWF) 2017, dan masih banyak lagi.
Aksara
11/22/2017
Di desa kecil di tengah rimba raya Ekuador, seorang kakek tua menyepi mencari kedamaian ditemani novel-novel cinta picisan yang didapatnya dari rumah bordil hilir sungai. Tapi kedamaian rupanya mustahil saat “peradaban” terus merangsek masuk menembus hutan. Ladang minyak. Demam emas. Perburuan. Alam pun membalas dendam lewat seekor macan kumbang. Seisi desa terancam dan si kakek tua tahu tak ada yang sanggup menghadapi hewan itu selain dirinya.
Kisah memukau tentang belantara Amazon dari seorang penulis Cile yang diasingkan oleh rezim militer Pinochet. Telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa dan difilmkan ke layar lebar.
“Novel luar biasa ini suatu keharusan, dan barang siapa menyempatkan diri membacanya bisa dijamin takkan kecewa karenanya.”
—Análisis
“Novel pendek yang tajam.”
—Publisher’s Weekly
Langganan:
Komentar (Atom)












